Bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh proses alam atau ulah manusia yang dapat terjadi secara bertahap atau mendadak yang mengakibatkan kehilangan jiwa manusia, kerusakan dan kehilangan harta benda dan kerusakan lingkungan. Pemerintah Republik Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ada beberapa jenis bencana yang pernah terjadi di negara kita, antara lain; gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan dan kebakaran hutan, kebakaran, letusan gunung berapi, gelombang pasang, tsunami, wabah penyakit.
Dari beberapa bencana tersebut, kerugian material dan immaterial sudah tak terhitung jumlahnya. Tapi, bencana masih terus mengancam kita.
Celakanya, terkait rentetan multibencana ini, pemerintah dan rakyat negeri ini selalu saja terkesiap, tergagap, dan bingung mau berbuat apa. Kita selalu tanpa persiapan dalam menghadapi hal yang tak terduga ini.
Tak dimungkiri, semua bencana itu bukan saja telah memorak-porandakan fisik, moral, dan mental masyarakat di berbagai daerah hingga menimbulkan kerugian materiil mencapai triliunan rupiah, tetapi juga membuat birokrasi di tingkat pemerintah daerah kian kelimpungan. Tak ada yang bisa menjamin dana penanggulangan bencana—yang jumlahnya puluhan triliun rupiah itu—bakal cukup digunakan untuk penanganan bencana hingga akhir tahun.
Ya, kini serasa tak ada satu pun tempat di negeri ini yang bisa dikatakan ”aman” dari ancaman bencana. Bencana, seakan telah ”menahbiskan” dirinya dan menjelma sebagai ”kendaraan maut” yang setiap saat siap menjadi tumpangan sang maut untuk merenggut nyawa rakyat negeri ini. Sungguh ironis!
Tak dimungkiri, semua bencana itu bukan saja telah memorak-porandakan fisik, moral, dan mental masyarakat di berbagai daerah hingga menimbulkan kerugian materiil mencapai triliunan rupiah, tetapi juga membuat birokrasi di tingkat pemerintah daerah kian kelimpungan. Tak ada yang bisa menjamin dana penanggulangan bencana—yang jumlahnya puluhan triliun rupiah itu—bakal cukup digunakan untuk penanganan bencana hingga akhir tahun.
Ya, kini serasa tak ada satu pun tempat di negeri ini yang bisa dikatakan ”aman” dari ancaman bencana. Bencana, seakan telah ”menahbiskan” dirinya dan menjelma sebagai ”kendaraan maut” yang setiap saat siap menjadi tumpangan sang maut untuk merenggut nyawa rakyat negeri ini. Sungguh ironis!
Secara geologis, negara kita dilalui oleh lempeng Eurasia, Australia dan Pasifik yang selalu bergerak. Pertemuan antar lempeng itu dalam jangka panjang akan menghimpun energi. Pada saat energi itu dilepaskan, maka terjadilah gempa bumi dengan atau tanpa potensi tsunami. Selain itu, negera kita juga memiliki sekitar 250 lebih gunung api aktif yang pada saat-saat tertentu dalam meletus dan menimbulkan bencana.
Dari serangkaian kejadian bencana alam maupun karena ulah manusia, kita bisa melakukan lesson learned, mengambil pelajaran untuk dipetik sebagai mana berikut:
- Pada umumnya, bencana terjadi pada saat kita dalam keadaan tidak siap. Bisa pada malam hari, tengah malam atau dinihari, atau bahkan di siang bolong di saat masyarakat sedang konsentrasi ke pekerjaan.
- Situasi tidak siap bisa karena soal waktu, bisa karena masalah ketidaksiapan yang bersifat tehnis karena memang tidak memiliki pengetahuan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Ini antara lain karena faktor pemahaman bahwa bencana itu takdir. Padahal, bencana bukan sekedar takdir.
- Untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, perlu didukung oleh semua elemen masyarakat, terutama pemerintah sebagai policy maker dengan menyediakan sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana dan sumber dananya sekaligus.
- Dalam skala yang terjangkau langkah-langkah tersebut untuk melindungi masyarakat saat bencana terjadi meliputi; pengelolaan tanggap darurat dan rekonstruksi atau rehabilitasi pasca bencana dengan tetap memperhatikan kearifan local. Bagaimana bencana tidak menjadi lahan “rebutan pemiliki bendera tertentu”, maka perlu melakukan pemberdayaan masyarakat, khususnya di daerah-daerah rawan bencana.
- Pemberdayaan masyarakat meliputi; pelatihan-pelatihan gladi penanggulangan bencana, dapur umum, evakuasi, taruna siaga bencana, untuk tujuan yang lebih komprehensif; yaitu, bahwa bencana tidak bisa diprediksi kedatangannya, namun bisa dikurangi resikonya, baik korban jiwa maupun harta benda.
- Bencana dan resikonya merupakan dua sisi mata uang yang bersifat dinamis. Satu bencana bisa mengakibatkan risiko terjadinya bencana lain; banjir menyebabkan datangnya wabah penyakit. Disini perlu dilakukan mitigasi bencana secara terus menerus sehingga meskipun bencana tidak bisa dicegah, namun resikonya bisa ditekan sedemikian rupa setelah melalui rangkain tahapan sesuai amanat undang-undang nomor 24 tahun 2007.
Terkait bencana alam yang akhir-akhir ini kian ”akrab” dengan kita, fenomena itu harus disikapi secara arif oleh seluruh warga, terlebih oleh para pemimpin bangsa.
Terlepas dari situasi itu, secara gamblang dapat kita lihat bahwa ternyata negeri ini amat rawan dilanda bencana. Mau tak mau, setiap bencana haruslah dihadapi karena kita tidak bisa menghindarinya. Menurut konsep ”pisau bedah” Kluckhohn, hidup bisa dilihat dalam tiga dimensi, yaitu: buruk, baik, atau buruk tetapi bisa diubah menjadi baik. Dengan cara pandang menggunakan dimensi ini maka perilaku terhadap bencana bisa dirumuskan.
Dalam konteks bencana gempa bumi, banjir, dan bencana-bencana lainnya, tak ada salahnya jika kita belajar pada negara Jepang. Jika kita cermati, baik dari segi geografis maupun kondisi geologisnya, Jepang adalah negara dengan keadaan yang hampir sama—bahkan lebih parah dari Indonesia. Berbagai potensi bencana ada di sana. Gempa, bangunan ambruk, banjir, badai, dan tanah longsor, terjadi di setiap titik pulau yang dihuni manusia.
Namun, justru dari kondisi itulah mereka kemudian bangkit dan melakukan sesuatu. Berbagai riset terkait bencana (riset kegempaan, geologis, efek runtuhan, banjir, dan tanah longsor) dilakukan, yang kemudian dimodifikasikan pada seluruh infrastruktur kehidupan mereka guna beradaptasi dengan berbagai bencana tersebut. Kurikulum mengenai cara bergerak (moving) ketika berbagai bencana terjadi juga diajarkan di sekolah-sekolah mereka.
Cara pikir inilah yang disebut sebagai reframing (pengembalian cara pandang). Frame—cara pandang—lama yang memandang bencana adalah takdir dan nasib, dapat diubah dengan frame baru yang memandang dengan cara baru pula bahwa bencana dapat kita antisipasi.
Dengan itulah, proses reframing akan menjadi perubahan yang menyeluruh dalam hidup kita, yaitu meski bencana bisa terjadi setiap menit sekalipun, kita tetap bisa bertahan hidup karena kita sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya.
Sekali lagi, harus selalu kita ingat bahwa saat ini kita tinggal di Indonesia, negeri yang selalu diancam dan ”diintai” oleh berbagai bencana, baik sekarang, nanti, dan masa-masa yang akan datang.
Terlepas dari situasi itu, secara gamblang dapat kita lihat bahwa ternyata negeri ini amat rawan dilanda bencana. Mau tak mau, setiap bencana haruslah dihadapi karena kita tidak bisa menghindarinya. Menurut konsep ”pisau bedah” Kluckhohn, hidup bisa dilihat dalam tiga dimensi, yaitu: buruk, baik, atau buruk tetapi bisa diubah menjadi baik. Dengan cara pandang menggunakan dimensi ini maka perilaku terhadap bencana bisa dirumuskan.
Dalam konteks bencana gempa bumi, banjir, dan bencana-bencana lainnya, tak ada salahnya jika kita belajar pada negara Jepang. Jika kita cermati, baik dari segi geografis maupun kondisi geologisnya, Jepang adalah negara dengan keadaan yang hampir sama—bahkan lebih parah dari Indonesia. Berbagai potensi bencana ada di sana. Gempa, bangunan ambruk, banjir, badai, dan tanah longsor, terjadi di setiap titik pulau yang dihuni manusia.
Namun, justru dari kondisi itulah mereka kemudian bangkit dan melakukan sesuatu. Berbagai riset terkait bencana (riset kegempaan, geologis, efek runtuhan, banjir, dan tanah longsor) dilakukan, yang kemudian dimodifikasikan pada seluruh infrastruktur kehidupan mereka guna beradaptasi dengan berbagai bencana tersebut. Kurikulum mengenai cara bergerak (moving) ketika berbagai bencana terjadi juga diajarkan di sekolah-sekolah mereka.
Cara pikir inilah yang disebut sebagai reframing (pengembalian cara pandang). Frame—cara pandang—lama yang memandang bencana adalah takdir dan nasib, dapat diubah dengan frame baru yang memandang dengan cara baru pula bahwa bencana dapat kita antisipasi.
Dengan itulah, proses reframing akan menjadi perubahan yang menyeluruh dalam hidup kita, yaitu meski bencana bisa terjadi setiap menit sekalipun, kita tetap bisa bertahan hidup karena kita sudah mempersiapkan diri jauh sebelumnya.
Sekali lagi, harus selalu kita ingat bahwa saat ini kita tinggal di Indonesia, negeri yang selalu diancam dan ”diintai” oleh berbagai bencana, baik sekarang, nanti, dan masa-masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar